Sabtu, Juni 21, 2008

SK Trimurti, wartawan 3 zaman

SK Trimurti, wartawan tiga jaman, pejuang dan mantan Menteri Perburuhan kelahiran 11 Mei 1912 itu meninggal dunia dalam usia 96 tahun, Selasa 20 Mei 2008 di RS Pusat Angkatan Darat, Jakarta. Jenazah mantan istri mendiang penulis naskah proklamasi Sayuti Melik itu sebelum dikebumikan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Rabu 21/5 disemayamkan di rumah duka RSPAD, Jakarta dan di Gedung Pola, Jakarta. Sementara, rumah dukadi ujung Jalan Palem V No. F/1001, Jakasetia, Bekasi Selatan, Kota Bekasi, terlihat sepi.

Menurut puteranya, Heru Baskoro, sebelum wafat, SK Trimurti sempat dirawat selama dua minggu dirawat di ruang perawatan intensif karena tekanan darahnya sangat rendah. Namun, setelah kondisinya sempat membaik dipindahkan ke ruang perawatan umum. Namun, Selasa pagi kondisinya kembali kritis. SK Trimurti mengalami pendarahan karena kejang pada bagian perutnya. Wartawan tiga jaman itu akhirnya mengembuskan napas terakhirnya pada pukul 18.20. Banyak tokoh dan sahabat melawat jenazah saksi Proklamasi 17 Agustus 1945 itu. Di antaranya Menteri Sekretaris Negara Hatta Rajasa, mantan Menteri Sekretaris Negara Moerdiono, dan kerabat dekat almarhumah.

Puteri pasangan Salim Banjaransari Mangunsuromo dan Saparinten binti Mangunbisomo itu pernah menjabat sebagai menteri dalam Kabinet Amir Sjarifuddin I dan Kabinet Amir Sjarifuddin II. Dari perkahannya dengan Sayuti Melik lahir dua orang putra yakni Moesafir Karma Boediman (MK Boediman) dan Heru BaskoroNama SK Trimurti begitu melegenda dalam dunia jurnalisme Indonesia. Dia adalah wartawan senior yang hidup tiga zaman. Pada zaman penjajahan Belanda sudah menjalani hidup di bui (1936-1943) karena idealisme dan karya jurnalistiknya. Bahkan, dia harus melahirkan anak keduanya di lorong penjara ketika itu. Di usia tua, hidupnya tetap penuh semangat, penuh canda dan tampak semakin enteng saja menjalani hidup.Pesat, Bedug, dan Genderang yang sudah tidak lagi terbit adalah contoh nama-nama media majalah tempat dia pernah berlabuh menuangkan kemampuan intelektual jurnalistik untuk membangun bangsa.Perempuan bertubuh mungil kelahiran tahun 1912 ini adalah istri Sayuti Melik tokoh terkenal pengetik naskah otentik Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945. Mereka menikah tahun 1938 namun 31 tahun kemudian tepatnya pada tahun 1969 Sayuti Melik setelah menikah lagi harus menjadi mantan suami yang tetap dia hormati.Wartawan tiga jaman itu tetap rajin latihan yoga sehingga dia dengan mudah dapat mencium lutut. Di usia tua perawakan tubuhnya tetap mungil, sikapnya tetap ramah, hidupnya tetap penuh semangat, rasa humornya masih tetap menampilkan canda dan kelihatannya dia semakin enteng saja menjalani hidup.Karena orang terbiasa mengenalnya dengan nama S.K. Trimurti atau Soerastri Karma Trimurti membuat nama yang sudah masuk dalam catatan sejarah Indonesia modern tersebut terlupakan sebagai nama yang tak lebih dan tak kurang hanyalah samaran belaka. Karma dan Trimurti adalah nama samaran yang dia pakai secara bergantian untuk menghindari delik pers pemerintahan kolonial Belanda dahulu. Bukti bahwa dia berjuang melepaskan diri dari siasat kekangan delik pers Belanda adalah bahwa anak keduanya terlahir di lorong penjara saat harus menjalani hidup di bui antara tahun 1939-1943.Sebagai penikmat yoga semenjak usia muda yang pada Mei 2000 lalu lututnya pernah terluka gara-gara terjatuh ketika hendak duduk bahkan membuatnya sempat harus dirawat di rumah sakit, Trimurti bisa dengan cepat memulihkan lukanya. Dengan yoga dia kembali dapat dengan mudah memamerkan begitu mudahnya dia mencium lutut. "Saya berlatih yoga sejak muda," jelas anggota Petisi 50 ini.Sebagai perempuan yang lahir dan dibesarkan di lingkungan Jawa dia menentukan sikap untuk tetap sangat tegas terhadap perihal hak-hak perempuan yang dibingkai dengan sopan santun kejawen. Ketegasan itu bukan hanya telah dia contohkan dengan kerelaan melahirkan seorang anak di sebuah lorong penjara, melainkan, terhadap seorang suami Sayuti Melik pun yang karena menikah lagi keduanya harus bercerai dia tetap menaruh rasa hormat sebagai mantan suami. Kendati sudah berusia uzur Trimurti masih sempat wira-wiri ikut rapat Petisi 50 setiap hari Selasa bahkan terkadang hadir sebagai pembicara di seminar-seminar bertaraf nasional. Beruntunglah terhadap pejuang pers kemerdekaan ini masih Tuhan anugerahkan sebuah kehidupan yang berlimpah sehat walafiat di sebuah rumah sederhana miliknya di Jalan Kramat Lontar H-7 di daerah Kramat, Jakarta. Di depan rumahnya itu bajaj bebas berseliweran yang suara gaduhnya sesewaktu dapat bercampur dengan suara orang-orang lewat atau anak-anak kecil yang menangis termasuk teriakan ibu-ibu yang memanggil tukang siomai dan bakso, misalnya. Di rumahnya yang sebagian kamarnya dia sewakan sebagai tempat indekos bagi para karyawati terdapat sebuah ruang tamu tempat menggantung lukisan Semar, tokoh pewayangan setengah dewa setengah manusia dan separuh laki-laki dan separuh perempuan yang dikeramatkan oleh sebagian orang Jawa. Nah, baru di ruang tengah rumahnya terdapat sebuah gambar ukuran 100x60 centimeter yang melukiskan seorang Presiden Soekarno yang sedang menyematkan Bintang Mahaputra Tingkat V ke dada Trimurti. Dia tercengang mengenang sebentar, "Saya sedang dijothak (didiamkan) Bung Karno waktu itu karena memprotes poligami!" tutur Trimurti yang akhirnya bisa tersenyum menerawang mengingat-ingat kembali tipe Bung Karno seorang lelaki yang karismatik tapi beristri banyak. Dia mengatakan sesungguhnya sangat loyal terhadap Bung Karno sang guru politik sekaligus orang yang memaksanya untuk pertama kali menulis di majalah Pikiran Rakyat. Proklamator Kemerdekaan dan Presiden R.I. pertama itulah yang telah membuat dia kecemplung ke dunia jurnalisme sebab sebelumnya Trimurti sudah menjadi seorang guru di sebuah sekolah dasar khusus putri di Surakarta dan Banyumas, serta di perguruan rakyat di Bandung.Satu-satunya persoalan fisik dia yang serius adalah keterbatasan penglihatan mata sebelah kanannya yang merosot karena termakan usia, selebihnya tak ada masalah fisik lain pada perempuan tua namun masih sehat walafiat ini. Bukan peristiwa aneh jika ketika dia sedang berjalan-jalan di sekitar rumah lalu tetangganya melontarkan senyum namun tak sekali pun pernah berbalas. Persoalannya Trimurti tidak bisa melihat dengan sempurna bukan karena wartawan senior ini sombong. "Wong saya baca saja pake kaca pembesar!" ujarnya penuh rasa humor.

Tidak ada komentar: